MENINGKATKAN MUTU SISWA
MELALUI PROFESIONALISME
GURU
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sudah
merupakan pendapat umum bahwa kemakmuran suatu bangsa berkaitan erat dengan
kualitas atau mutu pendidikan bangsa yang bersangkutan. Bahkan lebih spesifik
lagi, bangsa-bangsa yang berhasil mencapai kemakmuran dan kesejahteraan dewasa
ini adalah bangsa-bangsa yang melaksanakan pembangunan berdasarkan strategi
pengembangan sumber daya insani. Artinya, melaksanakan pembangunan nasional
dengan menekankan pada pembangunan pendidikan guna pengembangan kualitas sumber
daya manusia. Pengembangan sumber daya manusia, dari aspek pendidikan berarti
mengembangkan pendidikan baik aspek kuantitas maupun kualitas. Aspek kuantitas
menekankan pada perluasan sekolah sehingga penduduk memilki akses untuk bisa
mendapatkan pelayanan pendidikan tanpa memandang latar belakang kehidupan
mereka. Dari aspek kualitas , pengembangan sumber daya manusia berarti
pendidikan dalam hal ini kualitas sekolah harus selalu ditingkatkan dari waktu
ke waktu. Kualitas sekolah memiliki tekanan bahwa lulusan sekolah sebagai
lembaga pendidikan formal memiliki kemampuan yang relevan dan diperlukan dalam
kehidupannya.
Peningkatan
mutu pendidikan melalui standarisasi dan profesionalisasi yang sedang dilakukan
dewasa ini menuntut pemahaman berbagai pihak terhadap perubahan yang terjadi
dalam berbagai komponen sistem pendidikan. Perubahan kebijakan pendidikan dari
sentralisasi menjadi desentralisasi telah menekankan bahwa pengambilan kebijakan
berpindah dari pemerintah pusat (top government)
ke pemerintahan daerah (district government), yang berpusat di pemerintahan kota dan Kabupaten.
Dengan demikian, kewenangan-kewenangan penyelenggaraan pendidikan, khususnya
pendidikan dasar dan menengah berada di pundak Pemerintah Kota dan Kabupaten,
sehingga implementasinya akan diwarnai oleh political
will pemerintah daerah, yang
dituangkan dalam Peraturan Daerah (Perda). Dalam hal ini, tentu saja yang
paling menentukan adaah Bupati/Walikota, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),
dan Kepala Dinas Pendidikan beserta jajarannya. Oleh karena itu, merekalah yang
paling bertanggung jawab terhadap peningkatan mutu/kualitas pendidikan di
daerahnya, meskipun tidak selamanya demikian, karena dalam pelaksanaannya tidak
sedikit penyimpangan dan salah penafsiran terhadap kebijakan yang digulirkan,
sehingga menimbulkan berbagai kerancuan bahkan penurunan kualitas.
Dalam konteks
otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, keberhasilan dan kegagalan
pendidikan di sekolah sangat bergantung pada guru, kepala sekolah dan pengawas,
karena ketiga figur tersebut merupakan kunci yang menetukan serta menggerakan
berbagai komponen dan dimensi sekolah yang lain (Mulyasa, 2012). Dalam posisi
tersebut baik buruknya komponen sekolah yang lain sangat ditentukan oleh
kualitas guru, kepala sekolah, dan pengawas, tanpa mengurangi arti penting
tenaga pendidikan yang lain. Implementasi desentralisasi pendidikan menuntut
kepala sekolah dan pengawas untuk mengembangkan sekolah yang efektif dan
produktif, dengan penuh kemandirian dan akuntabilitas.
Pendidikan
bangsa Indonesia sekarang ini sangat memprihatinkan banyak kasus-kasus yang
terjadi di setiap penjuru negeri. Masalah
pendidikan yang ada di Indonesia semakin hari semakin rumit, bertambah banyak
dan komplek. Salah satu
permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya
mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, meskipun mungkin
telah banyak upaya dilakukan
untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya kurikulum nasional dan
lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pengadaan buku dan alat pelajaran,
pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana dan peningkatan mutu manajemen
sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan
peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota menunjukkan
peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, tetapi sebagian lainnya masih memprihatinkan.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah diuraikan dapat diperoleh rumusan masalah sebagai
berikut:
- Apa hakekat dari mutu
pendidikan?
- Faktor-faktor apa yang menjadi
penyebab rendahnya mutu
pendidikan di sekolah?
- Bagaimanakah Model dan strategi
peningkatan mutu pendidikan di sekolah?
- Apa yang menjadi Tantangan upaya
Peningkatan Mutu pendidikan di sekolah?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Mutu Siswa
a. Hakekat Mutu Pendidikan
Secara
umum, mutu dapat diartikan sebagai gambaran dan karakteristik menyeluruh dari
barang dan jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuasakan kebutuhan yang
diharapakan atau yang tersirat. Dalam konteks pendidikan, pengertian mutu
mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas, 2001).
Input
pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk
berlangsungnya proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumber daya dan perangkat
lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi berlangsungnya proses. Input
sumber daya meliputi sumber daya manusia (kepala sekolah, guru termasuk guru
BP, karyawan dan siswa) dan sumber daya selebihnya (peralatan, perlengkapan,
uang, bahan dan sebagainya). Input perangkat lunak meliputi struktur organisasi
sekolah, peraturan perundang-undangan, deskripsi tugas, rencana dan program.
Input harapan-harapan berupa visi, misi, tujuan dan sasaran-sasaran yang ingin
dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat
berlangsung dengan baik. Oleh karean itu rendahnya mutu input dapat diukur dari
tingkt kesiapan input. Makin tinggi tingkat
kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Proses
pendidikan merupakan berubahnya sesuatu menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang
berpengaruh terhadap berlangsungnya proses tersebut disebut input, sedang
sesuatu hasil dari proses disebut output. Dalam pendidikan berskala mikro
(sekolah), proses yang dimaksud adalah proses pengambilan keputusan, proses
pengelolaan kelembagaan, proses pengelolaan program, proses belajar mengajar,
dan proses monitoring dan evaluasi, dengan catatan bahwa proses belajar
mengajar memilki tingkat kepentingan tertinggi dibandingkan dengan
proses-proses lainnya.
Proses
dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta
pemaduan input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan, dan sebagainya)
dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang
menyenangan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar
dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik. Kata memberdayakan
mengandung arti bahawa peserta didik tidak sekedar menguasai pengetahuan yang
idajarkan oleh gurunya, tetapi pengetahuan tesebut juga telah menjadi muatan
nurani peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dan yang
lebih penting lagi peserta didik tersebut mampu belajar cara belajar (mampu
mengembangkan dirinya).
Output
pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah. Kinerja sekolah adalah prestasi
sekolah yang dihasilkan dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat
diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya, efesiensinya,
inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya dan moral kerjanya. Khusus yang
berkaitan dengan mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output sekolah
dikatakan berkualitas atau bermutu tinggi jika prestasi sekolah, khususnya prestasi
siswa, menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam: (1) prestasi akademik, berupa
nilai ulangan umum, nilai ujian akhir, karya ilmiah, lomba-lomba akademik; dan
(2) prestasi non-akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran, kesopanan,
olahraga, kesenian, keterampilan dan kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler lainnya.
Mutu sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang saling berhubungan
(proses) seperti misalnya perencanaaan, pelaksanan, dan pengawasan.
Hasil
pendidik dipandang bermutu jika mampu melahirkan keunggulan akademik dan
ekstrakurikuler pada peserta didik yang dinyatakan lulus dari suatu jenjang
pendidikan tertentu. Keunggulan akademik dinyatakan dengan nilai yang dicapai
peserta didik. Keunggulan ekstrakurikuler dinyatakan dengan aneka jenis
keterampilan yang diperolah siswa selama mengikuti program ekstrakurikuler.
b. Mutu Siswa
Mutu siswa dalam konteks “hasil Pendidikan” mengacu pada prestasi
yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir
cawu, akhir semester, akhir tahun, 2 tahun, atau 5 tahun bahkan 10 tahun).
Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa
hasil tes kemampuan akademis (misal : ulangan harian, ujian semester atau ujian
nasional). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang
olahraga, seni atau keterampilan tambahan tertentu. Bahkan prestasi sekolah
dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana
disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan dan lain-lain.
Antara
proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar
proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu siswa dalam artian
hasil (output) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas
target yang akan dicapai untuk setiap kurun waktu lainnya. Beberapa input dan
proses harus selalu mengacu pada mutu hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan
kata lain, tanggung jawab sekolah dalam school
based quality improvent bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya
adalah pada hasil yang dicapai. Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai
oleh sekolah terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik (kognitif) dapat dilakukan benchmarking (menggunakan
titik acuan standar nilai).
2. Profesionalisme Guru
a. Pengertian Profesi
Profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang erat
kaitannya dengan tuntutan keahlian,
pengetahuan, dan keterampilan tertentu. Profesi seseorang biasanya ditunjang
oleh hal-hal dasar yang dapat mengembangkan pekerjaan dan jabatan tersebut,
misalnya :
1. Bakat
2. Fisik dan Mental
3. Tingkat Pengetahuan
4. Tingkat pendidikan
b. Karakterisitik Profesi di bidang
Pendidikan
Sedikitnya ada enam karakteristik profesi di bidang pendidikan, yaitu :
1. Pekerjaan didasarkan atas sejumlah ilmu pengetahuan tertentu.
2. Selalu ada upaya peningkatan kemampuan.
3. Melayani kebutuhan masyarakat.
4. Memiliki norma-norma yang etis.
5. Dapat mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah di bidangnya.
6. Memiliki solidaritas kelompok.
c. Profesionalisme Guru
Sebagai tokoh sentral dalam peningkatan mutu pendidikan,
guru dituntut untuk memilki profesionalisme
dalam menggeluti bidangnya. Ada lima faktor utama yang mempengaruhi kualitas
guru sebagai tenaga pendidik, yaitu :
1. Kemampuan Profesionalisme
Kemampuan profesionalisme berupa kemampuan guru menguasai pengetahuan
tentang materi pelajaran yang diajarkan dan transformasinya ke dalam proses
belajar mengajar. Ini juga menyangkut pemilihan strategi, penggunaan alat dan
bahan ajar, serta pengelolaan kelas.
2. Upaya Profesional
Upaya profesional berupa motivasi yang tinggi untuk mengajar. Upaya
profesional juga termasuk upaya guru untuk memperbaharui, meremajakan dan
memperkaya ilmu dan keterampilan yang dimiliki.
3. Waktu yang dicurahkan untuk Kegiatan Profesional
Faktor ini menunjukkan intensitas guru dalam menggunakan waktu untuk
mengajarkan tugas-tugas profesional.
4. Kesesuaian antara keahlian dengan pekerjaan
Faktor ini didasarkan ansumsi bahwa guru yang dipersiapkan untuk
mengajarkan suatu mata pelajaran dianggap bermutu jika guru tersebut
mengajarkan mata pelajaran yang sesuai dengan keahliannya. Hal ini menyangkut
keberhasilan proses belajar mengajar dapat tercapai apabila dilakukan oleh guru
yang mengajarkan mata pelajaran yang sesuai dengan bidangnya.
5. Penghasilan dan Kesejahteraan
Faktor yanng tidak kalah pentingnya yang dapat mempengaruhi profesionalisme
guru adalah penghasilan dan kesejahteraan. Penghasilan yang memadai diharapkan
dapat memelihara, menunjang, dan memacu upaya peningkatan profesionalisme,
termasuk peningkatan keahlian, pengetahuan, efesiensi, dan efektifitas
pekerjaan mengajar.
d. Ciri – Ciri Guru Profesional
Sebagai tenaga pendidik yang profesional guru dituntut
untuk memahami karakteristik profesi pendidik. Terdapat
beberapa hal yang perlu dipahami oleh guru dalam proses pembelajaran, antara
lain :
1. Adanya niat bahwa mendidik adalah ibadah
2. Pentingnya memberikan motivasi kepada siswa
3. Mendidik tidak sama dengan mengajar
4. Hakekat pembelajaran untuk msing-masing mata pelajaran
5. Berbagai tehnik dan metode dalam pembelajaran
6. Prinsip-prinsip pembelajaran
7. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran
8. Pentingnya aktif dalam MGMP
9. Makna profesionalisme yang baik dalam proses pembelajaran
10. Perlunya meningkatkan kemampuan kepribadian, penguasaan bahan, kesadaran
tepat waktu, pengelolaan kelas, dan kepemimpinan bukan sebagai bos yang hanya
bisa memberi perintah.
Selain hal-hal di atas dalam melaksanakan
profesi sehari-hari guru yang pofesional kiranya dapat menunjukkan ciri-ciri
sebagai berikut:
1. Memahami Kurikulum
Memahami kurikulum bagi seorang guru yang profesional
menjadi syarat yang tidak boleh dilupakan agar tugas profesi keseharian bisa
terarah dan dapat dipertanggung jawabkan. Pemahaman kurikulum oleh guru perlu
dikembangkan dengan siswa yang akan mempelajarinya. Oleh karena itu sebaiknya
pada awal tahun pelajaran perlu diadakan penjajagan (matrikulasi) agar mutu masukan diketahui sejak awal. Hasil
dari penjajagan (matrikulasi) selanjutnya digunakan untuk
menjabarkan dalam Rencana Pengajaran.
Rencana Pengajaran yang disusun disesuaikan dengan
variasi kemampuan dan kebutuhan siswa, sehingga siswa dapat mengatasi berbagai
kesulitan belajar.
2. Mampu Mengembangkan Model Pembelajaran
Meskipun tidak mudah dilakukan
oleh guru, guru hendaknya dinamis dalam mengajar agar tidak terjebak dalam
pembelajaran yang monoton, membosankan yang menyebabkan ketercapaian rendah.
Oleh karena itu guru hendaknya mampu mengembangkan model pembelajaran agar
proses belajar mengajar yang dilakukan berlangsung secara efektif, untuk
syarat dalam mengembangkan adalah mengusai berbagai metode pembelajaran.
3. Mampu Merencanakan dan Mengembangkan Pelajaran
Hal ini menyangkut kemampuan
guru dalam merumuskan bahan ajar, menganalisis materi, merumuskan kopetensi
dasar dan indikator, yang tepat sesuai dengan pokok/sub pokok bahasan termasuk
pemilihan dan pembuatan/media yang digunakan.
4. Mampu Melakukan Evaluasi
Seorang guru yang profesional
harus mampu melaksanakan evaluasi secara tepat untuk mengambil keputusan
bagi peningkatan mutu pembelajaran dan prestasi belajar siswa. Evaluasi yang
tepat bermanfaat bagi pengumpulan informasi yang selanjutnya dianalisis dan
diperoleh informasi yang terpercaya, handal dan sahih.
5. Mampu Mengorganisasi Siswa
Keberhasilan guru dalam mengajar
tidak hanya ditentukan oleh faktor-faktor yang berhubungan dengan penguasaan
materi maupun penggunaan metode, tetapi juga faktor lain yaitu kemampuan
mengorganisasi siwa. Hal ini perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya tingkah
laku yang mengganggu jalannya proses pembelajaran. Ada beberapa jenis
pendekatan dalam pengorganisasian siswa, misalnya melakukan pembiasaan,
modifikasi perilaku, menciptakan iklim sosial yang kondusif, dan proses kerja
kelompok.
6. Adanya Perubahan dan Perbaikan pada Siswa
Belajar adalah suatu kegiatan yang menghasilkan perubahan tingkah laku
dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan, tentu saja tingkah laku yang
dimaksud adalah yang positif dalam kaitannya dengan kesempurnaan hidup.
Dari berbagi macam teori
belajar, pada dasarnya tujuan belajar adalah adanya perubahan tingkah laku yang
positif atau adanya nilai tambah dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal ini
tentu saja menuntut guru yang profesional mampu mendorong perubahan tingkah
laku yang positif pada anak didik.
3. Model dan
Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan di Sekolah
a. Teori dan
model peningkatan mutu pendidikan
Teori merupakan serangkaian konsep,
variabel dan proposisi yang memiliki keterkaitan kausalitas sehingga merupakan
satu kesatuan yang utuh yang dapat menjelaskan suatu fenomena. Model merupakan
terminologi yang seringkali dipergunakan untuk menunjuk teori.
1. Teori Total
Quality Management (TQM)
Teori ini menjelaskan bahwa mutu
sekolah mencakup dan menekankan pada tiga kemampuan, yaitu kemampuan akademik,
kemampuan sosial, dan kemampuan moral. Menurut teori ini, mutu sekolah
ditentukan oleh tiga variabel, yakni kultur sekolah, proses belajar mengajar
dan realitas sekolah. Kultur sekolah merupakan nilai-nilai,
kebiasaan-kebiasaan, upacara-upacara, slogan-slogan, dan berbagai perilaku yang
telah lama terbentuk di sekolah dan diteruskan dari satu angkatan ke angkatan
berikutnya baik secara sadar maupun tidak. Kultur ini diyajini mempengaruhi
perilaku komponen sekolah, yaitu guru, kepala sekolah, staf administrasi,
siswa, dan juga orang tua siswa. Kultur yang kondusif bagi peningkatan mutu
akan mendorong perilaku warga sekolah kea rah peningkatan mutu sekolah,
sebaliknya kultur sekolah yang tidak kondusif akan menghambat upaya menuju
peningkatan mutu sekolah.
Kultur sekolah dipengaruhi dua variabel, yakni variabel
pengaruh eksternal dan realitas sekolah itu sendiri. Pengaruh eksternal dapat
berupa kebijakan pendidikan yang dikeluarkan pemerintah, perkembangan media
massa dan lain sebagainya. Realitas adalah keadaan dan kondisi factual yang ada
di sekolah, baik kondisi fisik seperti gedung dan fasilitasnya, maupun non
fisik seperti; hubungan antar guru yang tidak harmonis dan peraturan sekolah
yang kelewat kaku. Realitas sekolah mempengaruhi mutu sekolah. Sekolah yang
memilki peraturan yang diterima dan dilaksanakan oleh warga sekolah akan
memiliki dampak ats mutu yang berbeda dengan sekolah yang memliki peraturan
tetapi tidak diterima warga sekolah.
Kualitas kurikulum dan proses belajar mengajar merupakan
variabel ketiga yang mempengaruhi mutu sekolah. Variabel ini merupakan variabel
yang paling dekat dan paling menentukan mutu lulusan. Kualitas kurikulum dan
PBM memilki hubungan timbal balik dengan realitas sekolah. Di samping itu juga
dipengaruhi oleh factor internal sekolah. Faktor internal adalah aspek
kelembagaan dari sekolah seperti struktur organisasi, bagaimana pemilihan
kepala sekolah, pengangkatan guru. Faktor internal ini akan mempengaruhi
pandangan dan pengalaman sekolah. Selain itu, pandangan dan pengalaman sekolah
juga akan di pengaruhi oleh factor eksternal.
2. Teori Organizing Business for
Excelency
Teori ini dikembangkan oleh Andrew Tani (2004), yang menekankan pada
keberadaan sistemorganisasi yang mampu merumuskan dengan jelas visi, misi dan
strategi untuk mencapai tujuan yang optimal. Teori ini menjelaskan bahwa
peningkatan mutu sekolah berawal dari dan dimulai dari dirumuskannya visi
sekolah. Dalam rumusan visi ini terkandung mutu sekolah yang diharapakan di
masa mendatang. Visi sebagai gambaran masa depan dapat dijabarkan dalam wujud
yang lebih konkrit dalam bentik misi. Yakni suatu statatement yang menyatakan
apa yang akan dilakukan untuk bias mewujudkan gamabaran masa depan menjadi
realitas. Konsep misi mengandung dua aspek, yaitu aspek abstrak dan konrit.
Misi mengandung aspek abstrak dalam bentuk perlunya kepemimpinan. Kepemimpinan
adalah sesuatu yang tidak tampak. Kepemimpinan yang hidup di sekolah akan
melahirkan kultur sekolah. Bagaimana bentuk dan sifat kultur sekolah sangat
dipengaruhi oleh kepemimpinan di sekolah. Jadi kepemimpinan dan kultur sekolah
merupakan sisi abstrak dari konsep misi.
3. Model
Peningkatan Mutu Faktor Empat
Teori ini menjelaskan bahwa mutu sekolah merupakan hail
dari pengaruh langsung proses belajar mengajar. Seberapa tinggi kualitas proses
belajar akan menunjukkan seberapa tinggi kualitas sekolah. Kualitas sekolah
berawal dari adanya visi sekolah, yang kemudian dijabarkan dalam misi sekolah.
Sebagaimana dijelaskan dalam teori ekselansi organisasi, maka misi mengandung
dua aspek, yaitu aspek abstrak dan konkrit. Misi mengandung nilai-nilai seperti
menjunjung tinggi kejujuran, kerja keras, kebersamaan. Pada tahap berikutnya
nilai-nilai itu akan berpengaruh pada terhadap kultur sekolah. Karena memiliki
nilai-nilai kejujuran maka interkasi antar warga sekolah didasari pada saling
percaya mempercayai, sehingga suasana sekolah enak, harmonis dan nyaman. Karena
memiliki nilai kerja keras, maka kultur sekolah menunjukkan adanya kebiasaan
untuk tidak menunda-nunda pekerjan. Disisi lain juga, misi juga mengandung
aspek konkrit, yakni berupa strategi dan program, yang menuntut keberadaan
infrastruktur. Berbeda dengan teori ekselensi organisasi, pada teori ini baik
aspek abstrak maupun konkrit dari misi berpengruh langsing terhadap
kepemimpinan. Dalam kaitan ini kepemimpinan memiliki dua aspek, yaitu
kepemimpinan dengan kemampuan untuk menggerakkan, menanamkan dan mempengaruhi
aspek abstrak, dan juga aspek manajerial yang merupakan kemampuan konrit dalam
mengorganisir, mengeksekusi, memonitor dan mengontrol. Dua variabel
kepemimpinan dan manajerial inilah yang
akan menentukan kualitas PBM
bersama-sama dengan keberadaan kultur sekolah dan infrastruktur yang
dimilki sekolah. Jadi, pada “Model Empat” ini kualitas proses belajar mengajar
ditentukan oleh kultur sekolah, kepemimpinan, manajerial dan infrastruktur yang
ada.
4. Peningkatan Mutu Pendidikan melalui
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)
MBS di pandang sebgai alternatif
dari pola umum pengoperasian sekolah yang selama ini memusatkan wewenang
di kantor pusat dan daerah. MBS adalah strategi untuk meningkatkan pendidikan
dengna mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan dari pusat dan daerah ke
tingkat sekolah. Dengan demikian, MBS pada dasarnya merupakan system manajemen
dimana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang
penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. MBS memberikan kesempatan
pengendalian lebih besar kepada kepala sekolah, guru, murid dan orang tua atas
proses pendidikan di sekolah mereka.
Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pegambilan keputusan tertentu mengenai
anggaran, kepegawaian dan kurikulum ditempatkan ditingkat sekolah dan bukan di
tingkat daerah apalagi pusat. Melaui keterlibatan guru, orang tua dan anggota
masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting, MBS dipandang dapat
menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian,
pada dasrnya MBS adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya.
Para pendukung MBS berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin
meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang di tingkaat
daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui
kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang
para birokrat di tingkat pusat dan daeraah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru
yang harus menerapkannya tidak berperan serta dalam merencanakannya.
Berdasarkan MBS maka tugas-tugas manajemen sekolah ditetapkan menurut
karakteristik dan kebutuhan sekolah itu sendiri. Oleh karena itu, sekolah
mempunyai otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar atas penggunaan sumber
daya sekolahguna memecahkan masalah sekolah dan menyelenggarakan aktivitas
pendidikan yang efektif demi pekembangan jangka panjang sekolah. Model MBS yang
diterapkan di Indonesia adalah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasai Sekolah (MPMBS).
Konsep dasar MPMBS adalah adanya otonomi dan pengambilan keputusan partispatif.
Artinya MPMBS memberikan otonomi yang lebih luas kepada masing-masing sekolah
secara individual dalam menjalankan program seklahnya dan dalam menyelesaikan
permasalahan yang terjadi.
Sebagai suatu sistem, MPMBS memiliki komponen-komponen yang saling terkait
secara sistematis satu sama lain, yaitu contxt, input, process, output,
dan outcome (Depdiknas,2003: 52). Muara dari semua kegiatan sekolah
adalah mutu hasil belajar siswa. Kemajuan suatu sekolah akan dilihat dari
sejauh mana kualitas hasil belajar siswanya. Oleh karena itu, indikator
keberhasilan pelaksanaan MPMBS di sekolah adalah kualitas kinerja siswa atau
kualitas hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa dapat bersifat akademik
maupun non-akademik. Dalam hal ini, sekolah harus dapat menunjukkan sejauh mana
kinerja siswa ini meningkat (secara kuntitatif dan kualitatif) setelah program
MPBMS dilakukan. Dalam mengukur keberhasilan kinerja siswa ini, sekolah
hendaknya memiliki indikator-indikator yang jelas, diketahui oleh semua pihak,
dan dapat diukur dengan mudah. Selain terdapat keluaran (output), sekolah juga
harus memiliki kriteria keberhasilan yang jelas terhadap dampak (outcome) program-program sekolah
terhadap sekolah sendiri, lulusannya, dan masyarakat.
Setelah berlangsung sejak 1999, kiranya efektivitas implementasi MPMBS di
sekolah rintisan sudah layak untuk dievaluasi. Evaluasi efektivitas MPMBS perlu
dilakukan terhadap komponen-komponen context, input, proses, output,
dan outcome. Evaluasi ini akan menunjukan tingkat efektivitas dari
masing-masing komponen serta aspek-aspek dari komponen itu. Berkaitan dengan
inilah, penelitian evaluatif efektivitas MPMBS di sekolah perlu dilakukan.
BAB III
KESIMPULAN
1. Masalah
pendidikan yang ada di Indonesia semakin hari semakin rumit, bertambah banyak
dan komplek. Salah satu
permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya
mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Berbagai indikator
mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah,
terutama di kota-kota menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup
menggembirakan, tetapi sebagian lainnya
masih memprihatinkan.
2. Rendahnya mutu
pendidikan di sekolah desebabkan
oleh berbagai factor antara lain:
a.
Rendahnya sarana fisik sekolah
b.
Rendahnya kualitas guru
c.
Rendahnya kesejahteraan guru
d.
Kurangnya kesempatan pemerataan pendidikan
e.
Redahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
f.
Mahalnya biaya pendidikan
3. Untuk meningkatkan
mutu pendidikan di sekolah dapat ditempuh berbagai model manajemn dan
strategi peningkatan mutu antara lain:
a.
Teori Total Quality Management
b.
Teori Organizing Business For Excelency
c.
Model Peningkatan Mutu Faktor Empat
d.
Peningkatan Mutu Pendidikan melalui Manajemen Berbasis
Sekolah
4. Strategi
peningkatan mutu pendidikan di sekolah dapat dilakukan dengan cara: yaitu strategi yang menekankan pada
hasil (the output oriented strategy), strategi yang menekankan pada
proses (the process oriented strategy), dan strategi komprehensif (the
comprehensive strategy).
5. Adapun yang
menjadi tantangan dalam upaya
peningkatan mutu pendidikan di sekolah sangat
banyak tetapi pada intinya adalah
sumber daya pelaku pendidikan di sekolah yang belum memadai, political will dari pemegang kebijakan dan kebijakan pendidikan itu
sendiri.
BAB IV
SARAN/REKOMENDASI
1. Disarankan
kepada pihak pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar dapat mengubah pola
fikir mereka dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, khusunya dalam hal komitmen
untuk peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
2. Disarankan juga
dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di sekolah, agar mutu guru yang paling
diutamakan. Sehubungan dengan
hal ini maka disarankan kepada pemerintah agar senantiasa memberikan fasilitas untuk peningkatan mutu guru yang
sudah ada dan melakukan seleksi ketat terhadap pengangkatan guru baru.
3. Disarankan
kepada kepala sekolah sebagai pemegang kunci manajemen di sekolah agar
senantiasa menekankan pentingnya penigkatan mutu pendidikan dalam proses
perencanaan pengembangan sekolah.
DAFTAR
PUSTAKA